(0362) 3307233
kantorcamatsukasada@gmail.com
Kecamatan Sukasada

Akankah Bendesa Jadi "Rebutan"? Jika Desa Adat Terdaftar di Pusat

Admin sukasada | 08 September 2014 | 1166 kali

DENPASAR - Sebelum ada tindaklanjut wacana judicial review UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang digulirkan Pemprov Bali, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali telah mendahului bikin keputusan terkait diberlakukannya UU Desa ini. MUDP Provinsi Bali putuskan untuk mendaftarkan desa adat (desa pakraman) ke pusat, jika harus memilih.
 
Ketua MUDP (Bendesa Agung) Provinsi Bali, Jro Gede Wayan Suwena Putus Upadesa, mengatakan sebenarnya dia dan jajarannya tetap menginginkan apa yang berlaku seperti sekarang, di mana desa adat (desa pakraman) dan desa dinas tetap eksis serta berjalan berdampingan, dengan fungsinya masing-masing. Namun, kalau harus memilih, ya mesti ada altenatif. Jika harus memilih, MUDP Provinsi Bali putuskan untuk mendaftarkan desa pakraman ke pusat.
 
Menurut Jro Gede Suwena, semuanya harus diantisipasi, jangan sampai seperti istilah pepatah Bali ‘kasep metangkis’ (terlambat menangkis). "Keputusan untuk mendaftarkan desa pakraman ke pusat itu sudah diambil dalam Sabha Kertha MUDP Bali yang dilaksanakan 9 Mei 2014 lalu," ungkapr Jro Gede Suwena di Denpasar, Jumat (20/6).
 
Jro Gede Suwena memaparkan, MUDP Bali sudah sejak lama memperlajari UU Desa yang disahkan per 15 Januari 2014 ini. "Sejak UU Desa itu disahkan, sudah kita pelajari draftnya. Semula, banyak hal yang tidak masuk di sana terutama keberdaan desa adat,” katanya.
 
“Akhirnya, kita sampaikan masukan, terutama pada Bab 13 Pasal 96 sampai Pasal 111, yaitu menyangkut ketentuan khusus desa adat. Jadi, kepentingan desa adat di Bali tidak ada yang diganggu (dalam UU Desa). Kami tegas saat diundang ke Jakarta waktu itu," lanjut tokoh adat asal Desa Muncan, Kecamatan Rendang, Karangasem ini.
 
Ditegaskan Jro Gede Suwena, dlam Pasal 18 b ayat 2 UU Desa sudah ditambahkan bahwa desa adat bukan hanya diakui, tapi sekaligus diberikan perlindungan dan pemberdayaan. "Misalnya, masalah pembiayaan, hak-hak tradisional, hak asal usul desa adat tidak diganggu. Justru diperkuat itu," tegas Jro Gede Suwena. Menurut Jro Gede Suwena, awalnya MUDP sepakat dua desa didaftarkan sekaligus ke pusat, yakni desa adat dan desa dinas. Tapi, Pasal 6 UU Desa menyebutkan wajib ada pilihan desa atau sebutan lain. Dalam pasal itu diminta harus memilih, yang mendaftarkan itu melalui proses panjang. Karena itu, MUDP Bali membahas masalah ini dalam Sabha Kertha di Denpasar, 9 Mei 2014 lalu, hingga diputuskan untuk mendaftarkan desa adat.
 
Jro Gede Suwena memaparkan, dalam Pasal 31 UU Desa disebutkan Pemkab/Pemkot yang lebih dulu merencanakan lewat Perda, dalam rangkaian indentifikasi dan kajian desa-desa. Di sana ditentukan apa saja yang didaftarkan dalam desa adat, apa saja dalam desa dinas. "Ini disahkan DPRD menjadi Perda. Barulah diajukan ke proses berikutnya untuk dapatkan regestrasi ke provinsi, lanjut ke menteri untuk mendapatkan kode desa. Setelah dapat kode desa, barulah jadi Perda untuk didaftarkan secara resmi," ujar Jro Gede Suwena.
 
Kalau desa adat yang didaftarkan, kata dia, bukan berarti pelaksana kedinasan di desa sekarang otomatis hilang. Dalam pemerintahan adat dan organisasi desa pakraman, tetap ada tugas pembantuan oleh pemerintah. Yakni bantuan pemerintahan administrasi, bantuan pemberdayaan masyarakat, pembantuan pembangunan, dan pembantuan partispasi masyarakat. "Nggak ada mengubah desa adat, juga nggak ada harus tunduk ke pemerintah," katanya.
 
Bagaimana dengan judicial review UU desa yang diwacanakan Pemprov Bali? Menurut Jro Gede Suwena, pihaknya setuju saja upaya judicial review, mengingat Undang-undang tersebut sudah disahkan, Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaannya pun telah diterbitkan, yakni PP Nomor 42 Tahun 2014 tertanggal 3 Juni 2014. Jadi, secara hukum UU Desa ini harus dilaksanakan. Kalau ada uji materi, kata Jro Gede Suwena, harus menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Kalau uji materi (judicial review) diterima, ya syukurlah kita. Tapi, kalau tidak, solusinya ya itu tadi, siapkan cadangan untuk daftarkan desa pakraman ke pusat. Pang sing kasep metangkis,” katanya sembari menyebut pihak MUDP Bali bahkan sudah sosialisasikan malah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini.
 
Sebelumnya, kalangan DPRD Bali dukung rencana judicial review UU Desa yang dicetuskan Gubernur Made Mangku Pastika dalam rapat dengan para Bupati/Walikota, Rabu (18/6) lalu. Hal ini dilakukan untuk melindungi desa pakraman dari ancaman peleburan ke desa dinas, menyusul diberlakukannya UU Desa. Menurut anggota Fraksi Demokrat DPRD Bali, Tjokorda Anom Asmara Putra Sukawati alias Cok Anom, tidak ada jalan lain kecuali judicial review terhadap UU Desa, untuk melindungi desa pakraman (desa adat) di Bali. Jika tidak, akan terjadi penyeragaman desa adat dan desa dinas. Politisi muda Demokrat asal Puri Agung Ubud, Gianyar ini mengatakan, jika UU Desa diberlakukan, maka desa adat dan desa dinas akan lebur. Jelas dampaknya bukan hanya terhadap kegiatan adat di desa pakraman, tapi juga kegiatan relegius ngayah dan keberadaan Pura Sad Kahyangan. “Saya tidak bisa bayangkan kalau UU Desa ini diterapkan. Bagaimana nasib desa adat kita di Bali?” ujar Cok Asmara.
 
Sedangkan Ketua Komisi I DPRD Bali (yang membidangi masalah hukum), Made Arjaya, menyatakan UU Desa harus dibedah tuntas terlebih dulu dalam sebuah seminar atau semacam dikusi. “Apa saja persoalannya, dampaknya bagaimana? Itu harus dibuka, tidak hanya melibatkan Bupati, Gubernur, Dewan, dan akademisi, tapi seluruh elemen masyarakat,” ujar Arjaya saat dikonfirmasi secara terpisah, Kamis kemarin.